Free Widgets

Kamis, 29 Juli 2010

film animasi, MUSIKAL pertama di indonesia






Meraih Mimpi adalah film animasi 3-D musikal pertama dari studio animasi di Indonesia dan merupakan versi lokalisasi Indonesia dari film versi bahasa Inggrisnya, Sing to the Dawn yang pertama kali dirilis tahun 2008 di Singapura. Film Meraih Mimpi dirilis di bioskop-bioskop Indonesia pada 16 September 2009, dimana versi lokal ini dirilis oleh Kalyana Shira Films dengan Nia Dinata sebagai penulis naskahnya.


Film versi bahasa Inggrisnya, "Sing to the Dawn" diadaptasi secara lepas berdasarkan novel berjudul sama yang mendapat penghargaan karya penulis kelahiran Myanmar, Minfong Ho, yang pertama kali diterbitkan tahun 1975 dan sangat populer di Singapura. Film tersebut diproduksi oleh Infinite Frameworks (IFW), sebuah studio animasi yang berbasis di Batam, Indonesia, dimana Phil Mitchell bekerja, dengan prakarsa dan dana dari pemerintah Singapura. Film tersebut dirilis tanggal 30 Oktober 2008 di Singapura, kemudian di Korea, Malaysia, dan Rusia. Film ini juga pernah diputar di Pusan international Film Festival di Korea Selatan dan American film Market di Santa Monica, AS. [1]

Versi film lokalisasi ini diisi dengan suara banyak aktor terkenal dari Indonesia, antara lain Uli Herdinansyah, Surya Saputra, Shanty, Cut Mini Theo, Indra Bekti, Jajang C. Noer, sedangkan dua tokoh utama dalam film ini diisi suaranya oleh penyanyi cilik Indonesia saat itu, yaitu Gita Gutawa dan Patton Otlivio Latupeirissa.


Sinopsis
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir kisahnya.

Dana (Gita Gutawa) adalah seorang gadis cilik yang tinggal di sebuah desa kecil di Batam. Dia tinggal bersama adik kecilnya, Rai (Patton Latupeirissa), ayahnya Somad (Uli Herdinansyah), dan neneknya yang biasa disebut "Oma" (Jajang C. Noer).

Desa tempat Dana tinggal tersebut dikuasai oleh Pairot (Surya Saputra), seorang pengusaha dan tuan tanah kejam tak berperasaan yang sering tampil menggunakan busana dan wig dengan dandanan ala Elvis Presley. Pairot membebani semua warga desa tersebut dengan pajak tanah yang keterlaluan dan kelewatan tinggi. Dia mengaku bahwa seluruh tanah desa tersebut adalah miliknya, setelah dia mengatakan pada warga desa bahwa dia memiliki surat warisan yang ditulis oleh Raja Ramelan, penguasa desa tersebut dulunya, yang mewariskan tanah desa tersebut pada Pairot. Peduduk desa tidak menyadari bahwa Pairot sedang merencanakan rencana jahat untuk mengusir warga desa dan menghancurkan desa tersebut untuk membangun sebuah kota perhotelan dan kasino ala Las Vegas di atasnya.

Setelah mengetahui rencana jahat Pairot, Dana dengan bantuan adiknya terjun ke dalam sebuah perjuangan untuk menyelamatkan desa yang dicintainya. Dengan petunjuk dari Kakek Wiwien (Jose Rizal Manua) seorang lelaki penduduk desa yang tua tapi gila, Dana juga berusaha untuk menemukan surat warisan Raja Ramelan yang asli. Usahanya tersebut membawa Dana dan adiknya ke dalam sebuah petualangan yang sangat mendebarkan layaknya film pemburu harta karun.

Seiring jalan cerita, sebagai seorang perempuan, Dana banyak mengalami kesulitan dan juga kesedihan dalam segala macam hal. Salah satunya adalah bahwa Dana dipaksa oleh ayahnya untuk mengikuti tradisi patriarkis di kampungnya untuk dijodohkan dan dinikahkan, dimana ayahnya ingin menikahkannya dengan si bodoh Ben (Indra Bekti), anak lelaki Pairot. Namun dalam perjuangannya, Dana dan Rai juga dibantu oleh banyak teman yang unik, seperti serombongan binatang hutan lucu yang dapat saling berbicara satu sama lain, di antaranya burung kakatua bernama Kakatu (Cut Mini), gagak bernama Minah (Shanty), Kadal (Ria Irawan), sampai beruang bernama Tante Bear (Tike Priatnakusumah)

Perjalanan Dana juga menjadi sangat unik, ketika ia sadar bahwa satu-satunya jalan untuk dapat berjuang melawan ketidakadilan pada dirinya adalah hanya dengan memenangkan kompetisi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di kota besar. Ditemani dengan binatang-binatang hutan dan Rai, Dana tidak hanya berhasil mendapatkan beasiswa, tetapi mereka juga menemukan rahasia tuan tanah akan identitasnya yang sebenarnya.

Di penghujung cerita, film Meraih Mimpi adalah sebuah kisah perjuangan hidup seorang anak perempuan dan keluarganya yang mencintai binatang dan lingkungan, dan tak pernah berhenti bermimpi dan berjuang.

Produksi

Sebagai film animasi 3-D penuh, "Meraih Mimpi" adalah film kedua yang diproduksi di Indonesia setelah film animasi "Homeland" (2004). [3] Namun film ini kemudian disebut sebagai film animasi 3-D pertama di layar lebar, karena film inilah yang pertama kali ditayangkan secara luas di bioskop-bioskop di Indonesia dan juga internasional, sedangkan "Homeland" adalah proyek film animasi eksperimen dari Studio Animasi Kasatmata.



Film "Sing to the Dawn" diproduksi oleh Infinite Frameworks (IFW), sebuah studio animasi yang berpusat di Batam, Indonesia. Phil Mitchell, sutradara film ini yang berkebangsaan Inggris, pada saat produksi film dan rilisnya bekerja sebagai Executive Creative Director di Studio Infinite Frameworks.[1] [4] Film versi bahasa Inggris tersebut sudah dirilis pada tanggal 30 Oktober 2008 di Singapura, kemudian di Korea, Malaysia, dan Rusia. Film tersebut juga pernah diputar di Pusan international Film Festival di Korea Selatan dan American film Market di Santa Monica, AS.

IFW mengadaptasi film ini dari novel klasik karya Minfong Ho, "Sing to the Dawn", atas permintaan pemerintah Singapura yang menginginkan supaya novel yang merupakan wajib baca di beberapa SD di Singapura tersebut untuk dibuat filmnya. Begitu mendapat tawaran, IFW langsung memulai produksi film "Sing to The Dawn". Film ini sendiri disebut sebagai "film karya anak bangsa" oleh Studio IFW, karena dari 150 animator di studio mereka, hampir semuanya orang Indonesia dan hanya lima orang ekspatriat, dengan jumlah total ekspatriat yang terlibat hanya 10 orang. Banyak animator dari Jogjakarta, Bandung, dan Solo yang juga direkrut dalam produksi film ini. [1] [5] Sebaliknya di Singapura, media banyak menulis bahwa film ini adalah film Singapura karena prakarsa dan dana yang dikucurkan dari perusahaan MediaCorp Raintree Pictures dan Media Development Authority milik Singapura. [6]

Produksi film ini dilakukan sepenuhnya di Batam selama tiga tahun dan memakan biaya sebesar 5 juta dollar AS. Setelah film versi bahasa Inggrisnya selesai dibuat pada tahun 2008, film "Sing to The Dawn" mulai didistribusikan ke berbagai negara mulai dari Singapura, Korea, dan Rusia. "Sing to The Dawn" tidak langsung diluncurkan ke Indonesia karena IFW ingin memperkenalkan film tersebut ke penonton internasional terlebih dahulu. [1] [4]

"Sing to The Dawn" baru dilokalisasi ke dalam versi Indonesia pada tahun 2009 dengan judul "Meraih Mimpi". Nia Dinata direkrut untuk membantu proses lokalisasi naskah dan skenario film, dan Erwin Gutawa (komposer dan ayah dari Gita Gutawa) diminta langsung untuk mengkomposisi ulang musik yang akan mengiringi film. Selain bahasa, lagu pengiring dalam film itu pun dirombak total untuk ditayangkan di Indonesia. Film "Meraih Mimpi" akhirnya dirilis di bioskop-bioskop Indonesia pada tanggal 16 September 2009 oleh Kalyana Shira Films.

Dalam merilis film ini, Kalyana Shira Films selain bekerja sama dengan IFW juga berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan asing dan lokal lainnya seperti Mediacorp Raintree Pictures, Scorpio East Pictures, Indika Pictures, bahkan Media Development Authority dari Singapura.

Perbedaan versi Indonesia dengan internasional

Penataan musik dan lagu pengiring film dalam versi lokalisasi Indonesia juga dirombak total oleh juga Erwin Gutawa, Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Ramondo Gascaro, dimana mereka memasukkan unsur instrumen yang biasa digunakan dalam orkes melayu, seperti akordeon (bekerjasama dengan Riza Arshad), perkusi dan juga solo biola. [5] Lagu pengiring dimana para tokoh bernyanyi pun versi bahasa Indonesianya harus disesuaikan dengan gerakan bibir dari versi rilis internasionalnya.

Perbedaan film dengan novel asli

Selain lokalisasi nama para karakter dalam film, setting cerita dalam film "Meraih Mimpi" juga berbeda, dimana Pulau Batam menjadi latar cerita, sedangkan di buku novelnya latar cerita adalah sebuah desa kecil di Thailand.

Menurut tanggapan media Jakarta Globe, film "Meraih Mimpi" dengan durasi yang relatif pendek (93 menit) banyak diisi dengan adegan-adegan petualangan yang seru dan tegang, dan juga adanya binatang-binatang yang berbicara akan menarik dan menghibur penontonnya anak-anak dan muda. [4]

Namun atas keinginan untuk menjadi sebuah hiburan, film "Meraih Mimpi" dianggap menjadi berbeda dan kehilangan bobot dibanding novel aslinya ("Sing to the Dawn"). Banyak karakter tokoh yang diubah, seperti Pairot yang tidak pernah berdandan seperti Elvis di novel aslinya. Salah satu perbedaan yang mencolok dari novel aslinya adalah dimana binatang-binatang teman Dana (Dawan, nama tokoh aslinya) tidak ada dalam novel, dan cerita pokok dalam novel adalah tentang hubungan Dana dengan keluarganya dan konflik-konflik yang dialaminya sebagai seorang perempuan di desa tradisional Asia Tenggara. Film "Sing to the Dawn" tidak berpusat ke cerita tersebut, namun berpusat ke rencana jahat Pairot untuk menggusur desa tempat latar cerita.

Perbedaan signifikan yang membedakan film ini dengan novelnya adalah kurang diulasnya konflik yang dialami Dana sebagai perempuan mengenai hak-hak feminis dengan ayahnya, Somad (Somchai) yang menjodohkannya dengan Ben (Bens). Setelah Dana memenangkan beasiswa sedangkan adiknya Rai (Kwai) menjadi juara kedua, Somad, ayah Dana berkata pada Rai bahwa Dana pasti akan memberikan beasiswanya pada Rai, karena Somad tidak percaya bahwa wanita membutuhkan pendidikan. Adegan ini merujuk pada perseteruan yang akan dialami Dana dan Rai, namun tidak seperti novelnya, perseteruan yang sangat penting dan menjadi cerita pokok dalam novel aslinya tersebut sama sekali tidak dikembangkan dalam film "Meraih Mimpi". [4]

Dalam tayang perdana film "Sing to the Dawn" di Jurong Bird Park, Singapura, Minfong Ho berpendapat bahwa film ini dengan bukunya adalah dua karya yang terpisah, dan jangan dibandingkan satu sama lain. Menurut Minfong Ho, film "Sing to the Dawn" telah berhasil menunjukkan karakter dan semangat Dawan / Dana. Film tersebut juga menggunakan animasi sehingga banyak memberi canda secara visual dan juga humor dengan binatang yang saling berbicara. Minfong Ho berkata bahwa bila dia yang memberi penilaian untuk film tersebut, dia akan memberinya 11 dari 10. [7]

http://www.youtube.com/watch?v=YXnWmD-Ge0g

kumpulan orkes terbaik di duniaaaa :)



Sydney Symphony Orchestra


Sydney Symphony Orchestra (singakatan – SSO), lebih dikenal sebagai Sydney Symphony, merupakan sebuah orkestra simfoni yang berpusat di Sydney, Australia. Simfoni ini memiliki hal yang unik karena menggunakan Sydney Opera House sebagai tempat konser utamanya. Terjadi persaingan sehat antara Sydney dan Melbourne, salah satunya adalah berkompetisi mengejar gelar orkestra terbaik di Australia: Melbourne Symphony Orchestra atau Sydney Symphony.

Sydney Symphony adalah ikon bagi suasana budaya Sydney, mengadakan 150 konser setiap tahun dengan penonton tahunan lebih dari 350.000 orang. Rangkaian konser reguler dilaksanakan di Sydney Opera House dan juga tempat-tempat lain di sekitar Sydney, termasuk City Recital Hall at Angel Place dan Sydney Town Hall. Town Hall adalah pusat orkestra ini hingga pembukaan Opera House tahun 1973.

Acara besar tahunan untuk orkestra ini ialah Symphony in the Domain, sebuah konser piknik terbuka gratis pada sore hari yang diadakan pada musim panas bulan Januari di taman kota besar yang dikenal dengan nama The Domain. Acara ini menarik penonton lebih dari 80.000 orang dan merupakan bagian dari kalender budaya musim panas Sydney yang sudah lama ada.




www.SydneySymphony.com






ELECTRIC SYMPHONY ORCHESTRA
Electric Light Orchestra, disingkat ELO adalah grup musik rock simfoni asal Birmingham, Inggris. Mereka merilis 11 album studio dari tahun 1971 hingga 1986, dan sebuah album studio pada tahun 2001. ELO bersama Olivia Newton-John membuat lagu musik film Xanadu yang sukses di puncak tangga singel Britania Raya di tahun 1980.[1]

ELO adalah hasil dari pemikiran Carl Wayne dan Roy Wood. Keduanya ingin membuat lagu-lagu dari The Move yang lebih bernuansa klasik. Lagu-lagu ELO mengandalkan permainan gitar rock yang diiringi biola, cello, dan orkestra. Pada tahun 1972, ELO yang dipimpin Roy Wood, Jeff Lyne, dan Bev Bevan merilis album perdana yang mendapat pujian dari kritikus musik. Namun selanjutnya, pimpinan ELO diambil alih oleh Jeff Lynne yang menciptakan semua lagu-lagu ELO sekaligus bertindak sebagai produser.

Mereka pertama kali meraih sukses di Amerika Serikat, dan bukan di negara asal mereka. Di Amerika mereka dijuluki sebagai "pemuda Inggris dengan biola besar".[2] Mereka menjadi salah satu band terlaku di pertengahan tahun 1970-an. Dari tahun 1972 hingga 1986, 26 lagu mereka menempati tangga 40 teratas Britania Raya, dan 20 lagu sampai di tangga Billboard. ELO tercatat sebagai band yang paling banyak memiliki lagu di peringkat 40 teratas Billboard tanpa satu pun dari singelnya pernah menempati urutan nomor satu.[3]

Walaupun sebagian besar angka penjualan album dan singel ELO belum pernah diteliti, diaudit, dan disertifikasi, ELO hingga kini telah mengumpulkan 21 penghargaan RIAA dan 38 penghargaan BPI, dan telah menjual lebih dari 100 juta rekaman di seluruh dunia.[4] Manajer ELO adalah Don Arden yang juga ayah dari Sharon Osbourne.



Terbentuknya ELO

Pada akhir tahun 1960-an, Roy Wood yang menjadi gitaris, vokalis, sekaligus pencipta lagu The Move mempunyai ide mendirikan band baru. Cello, biola, horn, dan alat musik tiup kayu akan dipakainya untuk memberi warna klasik. Ia berambisi memberi warna baru dalam musik rock, dan "meneruskan yang ditinggalkan The Beatles" seperti dalam lagu "Strawberry Fields Forever" dan "I Am the Walrus". Jeff Lynne, pemimpin band The Idle Race asal Birmingham tertarik dengan konsep Roy Wood. Setelah Carl Wayne keluar dari The Move di bulan Januari 1970, Roy untuk kedua kalinya menawarkan kepada Lynne untuk bergabung dengan The Move. Lynne menerima tawaran tersebut dengan syarat keduanya harus bersungguh-sungguh untuk proyek baru ini.

Singel "10538 Overture" adalah lagu pertama ELO yang dirilis 12 Juli 1970. Mulanya lagu tersebut diciptakan Lynne untuk sisi B singel The Move. Konsep musik ELO tercipta setelah Wood mengubahnya dengan menambahkan permainan cello. Untuk membiayai proses rekaman ELO yang memakan waktu lama, Wood merilis dua album berikutnya dari The Move. Ketika album perdana, The Electric Light Orchestra dirilis pada tahun 1971 (tahun 1972 di AS sebagai No Answer), lagu "10538 Overture" berhasil memasuki peringkat 10 teratas tangga lagu Britania.

Setelah album perdana, timbul ketegangan antara Wood dan Lynne mengenai cara mengurus band.[5] Di tengah rekaman album kedua, Wood mengundurkan diri dengan membawa pemain cello Hugh McDowell dan pemain horn Bill Hunt. Bertiga mereka membentuk grup baru bernama Wizzard. Walaupun media massa memperkirakan ELO pasti bubar tanpa Wood, ELO bertahan setelah Lynne mengambil alih pimpinan. Ia didukung oleh pemain drum Bev Bevan dan sederetan anggota baru: Richard Tandy (synthesizer Moog), Mike de Albuquerque (bass), Mike Edwards dan Colin Walker (cello), serta pemain biola Wilfred Gibson sebagai pengganti Steve Woolam.

ELO formasi baru tampil di Festival Reading tahun 1972. Sewaktu ELO berada di atas panggung, trio alat musik gesek bisa bergerak bebas setelah dipasangi pick up merek Barcus Berry. Album kedua ELO 2 yang dirilis tahun 1973 berisi lagu klasik Chuck Berry yang diberi aransemen baru, "Roll Over Beethoven". Lagu tersebut menjadi lagu hit pertama mereka di AS, dan mereka diundang untuk pertama kalinya dalam acara televisi American Bandstand.

Sewaktu rekaman album ketiga, Gibson (biola) dan Walker (cello) keluar, digantikan oleh pemain biola yang baru, Mik Kaminski. Pemain cello yang tersisa, Mike Edwards keluar setelah menyelesaikan tugasnya dalam rekaman, dan McDowell yang dulu sempat keluar kembali bergabung. Hasilnya rekaman berupa album On the Third Day, dirilis akhir tahun 1973 berikut versi AS yang berisi lagu "Showdown".


Puncak kesuksesan

Setelah sebelumnya ELO selalu melakukan overdub alat musik gesek, Lynne akhirnya bisa menyewa orkestra dan paduan suara sewaktu mengerjakan album ke-4, Eldorado, A Symphony. Louis Clark bergabung dengan ELO sebagai pengaransemen alat musik gesek.[6] Singel pertama dari album Eldorado, A Symphony adalah lagu "Can't Get It Out Of My Head" yang masuk urutan 10 teratas tangga Billboard di AS. Album tersebut juga menjadi album pertama mereka yang meraih piringan emas.

Setelah merilis Eldorado, A Symphony, pemain bass sekaligus vokalis Kelly Groucutt bergabung menggantikan de Albuquerque dan pemain cello Melvyn Gale menggantikan Mike Edwards. Album berikutnya adalah Face the Music yang dirilis tahun 1975. Di dalamnya terdapat lagu hit "Evil Woman" dan "Strange Magic". Bagian pembuka lagu "Fire On High" yang berupa permainan alat musik gesek dan gitar akustik dijadikan musik latar acara olahraga CBS Sports Spectacular.

Di Amerika Serikat, ELO menjadi grup musik sukses yang mampu mengadakan konser di stadion dan arena berkapasitas besar. Mereka juga menjadi bintang tamu reguler dalam acara televisi The Midnight Special. Walaupun demikian, mereka kurang terkenal di Britania Raya hingga dikeluarkannya album ke-6, A New World Record pada tahun 1976. Di antara lagu-lagu ELO yang menjadi terkenal di negara asal mereka adalah "Livin' Thing", "Telephone Line", "Rockaria!", dan "Do Ya" (rekaman ulang lagu grup The Move).

Album berikutnya yang meraih status platina adalah sebuah album ganda, Out of the Blue yang dikeluarkan di tahun 1977. Dari album ini dikeluarkan singel-singel seperti "Turn to Stone", "Sweet Talkin' Woman", "Mr. Blue Sky", dan "Wild West Hero". Setelah itu mereka mengadakan konser keliling dunia. Pada tahun 1978, ELO menjadi band asal Britania Raya yang paling laku di AS.[1] Di AS, konser mereka disebut The Big Night. Panggung sewaktu konser di Amerika berupa model "wahana antariksa" berskala penuh,[1] berikut mesin penghasil kabut dan tata cahaya laser. Sejumlah 80 ribu penonton menyaksikan mereka di Stadion Cleveland. Walaupun sewaktu konser mereka dituduh memainkan pita rekaman, The Big Night sukses menjadi konser musik berpendapatan kotor terbesar (hingga tahun 1978).[7] Di Arena Wembley, tempat ELO manggung 8 malam berturut-turut, tiketnya semua terjual habis. Konser mereka di Wembley direkam dan disiarkan di televisi. Di kemudian hari rekaman konser ini dirilis dalam bentuk CD dan DVD.

Pada tahun 1979, ELO mengeluarkan album Discovery. Walaupun lagu andalan dari album ini adalah "Don't Bring Me Down" yang berirama hard rock, album ini mendapat pengaruh kuat dari irama disco. Dari album Discovery terdapat lagu-lagu seperti "Shine A Little Love", "Last Train to London", "Confusion", dan "The Diary of Horace Wimp". Walaupun tidak mengadakan konser untuk album Discovery, ELO merekam video musik untuk album Discovery. Video musik tersebut menjadi penampilan terakhir trio gesek ELO, Mik Kaminski, Hugh McDowell, dan Melvyn Gale karena McDowell dan Gale keluar tidak lama kemudian.

Pada tahun 1980, Jeff Lynne bersama John Farrar diminta menulis musik film untuk Xanadu. Olivia Newton-John yang menjadi peran utama juga menyanyikan lagu "Xanadu". Film Xanadu tidak berhasil jadi film laris, tapi album musik film Xanadu laku terjual hingga meraih dua piringan platina. Dari album Xanadu, Olivia Newton-JohnOlivia Newton-John menghasilkan lagu hit "Magic" dan "Suddenly" (duet dengan Cliff Richard. Lagu "Xanadu" yang dibawakan Newton-John dan ELO menjadi satu-satunya lagu ELO yang sampai di puncak tangga singel Britania Raya.[8] Pada tahun yang sama, Bev Bevan menerbitkan memoar berjudul The Electric Light Orchestra Story yang mengisahkan kariernya bersama The Move dan ELO.

Pada tahun 1981, ELO merilis album konsep fiksi ilmiah berjudul Time. Dalam album ini, ELO mengubah musik mereka ke arah album-album rock progresif yang pernah dihasilkannya dulu, seperti Eldorado. Alat musik gesek ditinggalkan, dan synthesizer menjadi unsur yang dominan. Album ini bertahan di puncak tangga album Britania selama dua minggu, sekaligus album studio terakhir dari ELO yang mendapat penghargaan platina di Britania Raya. Dari album ini dikeluarkan singel-singel: "Hold on Tight", "Twilight", "The Way Life's Meant to Be," "Here Is the News", dan "Ticket to the Moon". Konser promosi album Time menjadi konser pertama ELO tanpa pemain cello, tapi Mik Kaminski tetap hadir untuk memainkan biola biru miliknya yang terkenal. Sewaktu konser, pemain kibor Louis Clark dan Dave Morgan memainkan bagian untuk alat musik gesek dengan synthesizer.
[sunting] Kemunduran

Rabu, 28 Juli 2010

Sopran

Sopran adalah penyanyi suara tertinggi dalam klasifikasi vokal di dalam budaya musik klasik barat. Istilah ini berasal dari bahasa Italia 'sopra' yang berarti melampaui dan juga bahasa latin 'supra' yang berarti super. Dalam masa kini, istilah sopran hanya digunakan untuk penyanyi wanita yang memiliki jarak suara sopran. Dalam paduan suara, standar jarak suara sopran adalah yaitu dari C4 hingga satu setengah oktaf keatas mencapai G5/A5.
Sejarah

Di dalam sejarah musik barat, sopran digunakan pada abad 16 untuk menyebut bagian suara paduan suara paling tinggi yang biasa dinyanyikan oleh anak lelaki. Pada abad 16 dan 17, agama Kristen di Eropa melarang kaum wanita untuk bertampil di tempat umum dan khususnya di Katedral dan Gereja. Dengan berkembangnya Opera, peran-peran wanita diperlukan. Dengan dilarangnya wanita untuk menyanyi di panggung, penyanyi kastrati digunakan, dan masih terus dipergunakan hingga akhir musik baroque. Dengan perkembangan agama kristen protestan, doktrin katolik lambat laun memudar dan penyanyi wanita diperbolehkan menyanyi dalam paduan suara di gereja ataupun di opera. Sejak masa tersebut, istilah sopran dipergunakan untuk suara wanita dan suara sopran anak-anak(sopran trebel).

Suara Sopran Dalam Opera

Dengan semakin besarnya peran Opera dalam dunia musik barat, semakin banyak juga peran-peran Opera yang memerlukan suara-suara yang lebih spesifik. Istilah soprano tersendiri tidak mencukupi keperluan opera.

Musik Giuseppe Verdi dan Richard Wagner merupakan puncak seni suara dimana suara harus memiliki warna, kelincahan, jarak suara dan ukuran volum tertentu. Klasifikasi suara menjadi amat rumit. Dalam dunia opera masa kini, suara soprano dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Klasifikasi suara modern digunakan dengan syarat bahwa hanya dapat digunakan oleh penyanyi opera. Klasifikasi yang berasal dari Jerman ini disebut Fach.

Sopran Koloratura Lirik

Fach tertinggi untuk suara sopran. Fach ini memerlukan suara yang tinggi dan ringan dan yang bisa menyanyikan ornamen-ornamen melodi yang rumit dan tinggi.

Jarak suara: C4-F6

Peran Standar:

* Lakmé (Lakmé)
* Elvira (I puritani)
* Norina (Don Pasquale)
* Olympia (Les contes d'Hoffmann)
* Zerbinetta (Ariadne auf Naxos)
* Cleopatra (Giulio Cesare)

Penyanyi Terkenal:

* Sumi Jo
* Natalie Dessay

Sopran Koloratura Dramatik

Seperti suara koloratura lirik tetapi lebih berat, gelap dan besar. Sopran ini bisa menyanyi ornamen rumit walaupun diiringi tekstur orkestra yang tebal. Suara ini pada umumnya paling ideal untuk semua peran koloratura Verdi.

Jarak suara:C4-F6

Peran Standar:

* Königin auf der Nacht (The Magic Flute)
* Violetta (La Traviata)
* Norma (Norma)

Penyanyi Tenar:

* Dame Joan Sutherland
* Diana Damrau

Sopran Lirik

Sopran yang memiliki suara yang lebih gelap dari koloratura tetapi lebih ringan dari dramatik. Suara ini memiliki kemampuan untuk menyanyi melodi legato dan memiliki warna yang lebih hangat daripada koloratura. Suara ini mampu menyanyi dengan amat lembut. Sopran ini menyanyi peran muda.

Jarak suara:C4-C6

Peran Standar:

* Mimi (La bohème)
* Micaëla (Carmen)
* Liù (Turandot)
* Contessa Almavilla (Le nozze di Figaro)
* Pamina (The Magic Flute)

Penyanyi Tenar:

* Lisa della Casa
* Renata Tebaldi
* Elisabeth Schwarzkopf
* Kathleen Battle
* Anna Netrebko

Sopran Spinto

Spinto dalam bahasa Itali berarti didorong. Suara ini memiliki kualitas lirik dan dramatic bersamaan: Sopran ini dapat menyanyi dengan lembut tetapi dapat menyanyi dengan kuat walaupun tidak begitu lama. Biasa fach ini menyanyi peran tragis dimana sopran ini menyanyi dengan suara indah dan bersih dan diakhiri dengan suara yang dramatic dan deklamatif.

Jarak suara:C4-C6

Peran Standar:

* Madama Butterfly (Madama Butterfly)
* Manon Lescaut(Manon Lescaut)
* Floria Tosca (Tosca)
* Donna Elvira (Don Giovanni)

Penyanyi Tenar:

* Maria Callas
* Lotte Lehmann
* Leontyne Price
* Renée Fleming


Sopran Dramatik

Soprano yang memiliki warna suara yang gelap dan ukuran suara yang besar. Sopran ini mampu menyanyi peran deklamatif dan kuat dan mampu menyanyi diiringi orkestra yang amat tebal. Sopran ini biasa menyanyikan peran berwibawa karena suara sopran ini memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada soprano yang lain.

Jarak suara:C4-C6

Peran Standar:

* Elsa (Lohengrin)
* Ariadne (Ariadne auf Naxos)
* Aida (Aida)
* Turandot (Turandot)

Penyanyi Tenar:

* Jessye Norman
* Deborah Voigt


Heldensopran

Sopran langka ini harus menyanyi peran-peran yang memerlukan suara yang paling besar. Sopran ini tidak memerlukan warna suara tertentu tetapi ia memerlukan suara untuk menyanyikan peran-peran utama dalam opera-opera Richard Wagner dimana sopran tesebut harus menyanyi dengan suara keras dengan tesitura tinggi dalam waktu yang amat panjang. Konon dalam sejarah musik rekaman hanya ada dua soprano yang mempunyai suara tersebut.

Jarak suara:F3-C6

Peran Standar:

* Brunnhilde (Der Ring des Nibelungen)
* Isolde (Tristan und Isolde)
* Elektra (Elektra)

Penyanyi Tenar:

* Birgit Nilsson
* Kirsten Flagstad

GitaLovers | The Official Fans Club of Gita Gutawa

GitaLovers | The Official Fans Club of Gita Gutawa